Berikut ini adalah beberapa surat yang ditulis oleh
Kartini semasa hidupnya.
Apa yang bisa kamu pelajari dari surat-surat ini?
- Jika
saja masih anak-anak ketika kata-kata "Emansipasi" belum ada
bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan
kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan
saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu
keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka,
berdiri sendiri. (Suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
- Bagi
saya ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi.
Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat
orang yang membanggakan asal keturunannya. (Suratnya kepada Nona
Zeehander, 18 Agustus 1899)
- Kami
berikhtiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri.
Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih suka
dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya
sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula.
(Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902)
- "Vegetarisme
itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi." (Suratnya kepada Nyonya
Abendanon, 27 Oktober 1902)
- Alangkah
besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik
baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami
dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan,
karena inilah yang akan membawa behagia baginya (Suratnya kepada Nyonya
Van Kool, Agustus 1901)
- Bagi
saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran dan
keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi
saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah
berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak
dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini. (Surat Kartini kepada
Stella, 18 Agustus 1899)
- Sesungguhnya
adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak
bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu,
haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai
aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau
kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa
Jawa halus). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. …
Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus
perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat
mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya
pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat,
dicaci orang, disebut "kuda liar". (Surat Kartini kepada Stella,
18 Agustus 1899)
- Peduli
apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu
bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan
bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang
mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada
tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai
batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. (Surat Kartini kepada
Stella, 18 Agustus 1899)
- Orang
kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru
perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang
tertinggi pula ialah orang Eropa. (Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei
1899)
- Bolehlah,
negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga-tenaga ahli, yang amat
bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan
dan pengajaran remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda
lebih beruntung dari pada anak-anak Jawa, yang telah memiliki buku selain
buku pelajaran sekolah. (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus
1902)
- Aku
mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku
lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny.
Ovink Soer, 1900)
- Sepanjang
hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang.
Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak
menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir
pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.” (Surat kepada Ny
Abendanon dari Kartini, 14 Desember 1902)
- Duh,
Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama di pun di atas dunia
ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus mempersatukan semua orang
tetapi sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan
perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. (Kartini, 6 November
1899)
- Kami
sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang
setengah Eropah atau orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas, kami
bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa/ orang Indonesia menjadi orang
Jawa,/ orang Indonesia sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan
semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan
serta kebutuhannya. Kami hendak memberikan kepada mereka segala yang baik
dari kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan
mereka sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.
- …
PENDIDIKAN yang mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada
pengembangan intelektuil, melainkan terutama pada pembinaan watak… Banyak
sekali contoh yang membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi
sama sekali bukan jaminan akan adanya keagungan moral.
Tentang para
pelopor zaman
·
“Pada jaman
manapun dan dalam bidang apapun, kaum pelopor selalu mengalami
rintangan-rintangan hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa nikmatnya
memiliki suatu cita-cita. Suatu panggilan. Katakanlah kami ini orang-orang
gila… Atau apa saja… Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami tidak berhak
untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti. Keningratan
membawa kewajiban.” (Kartini, awal 1900)
·
Tentang Cita-cita Menjadi Guru
·
“Karena saya
yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada
masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru,
supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya
ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan
pikiran mereka yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan,
supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita
pasti bahagia kalau wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik… Di dunia
wanita kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya
saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya
membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.” (Kartini,
1901)
No comments:
Post a Comment